Warna-Warni Pendidikan
Dolanan Karya
Jumat 7 September 2012

Untuk mengenalkan permainan tradisional kepada generasi muda 
Paguyuban Dimas Diajeng Provinsi DIY menggelar kompetisi olimpiade 
kebudayaan Dolanan Karya atau Dokar bertempat di Taman Pintar 
Yogyakarta. Acara ini diikuti oleh seratus peserta yang merupakan 
siswa-siswi SD di seputaran Kota Yogyakarta.

Panitia penyelenggara acara ini adalah Dimas Diajeng Yogyakarta. 
Dimas Diajeng Jogja adalah para  remaja yang terpilih sebagai duta 
provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berprestasi dan memiliki 
potensi, daya tarik, serta bakat yang istimewa. Dimas Diajeng Jogja 
memiliki misi untuk memajukan Yogyakarta terutama dalam bidang 
pendidikan, pariwisata dan kebudayaan. Untuk mewujudkan misi ini 
digelarlah acara olimpiade kebudayaan “dokar”.

Format acara olimpiade kebudayaan ini dibuat sangat menarik sehingga 
peserta semakin bersemangat mengikutinya.  Setiap tim menyelesaikan 
permainan dan tugas-tugas yang terbagi dalam 5 pos. Masing-masing pos 
memiliki tugas dan permainan yang berbeda satu sama lain. Peserta diberi
 waktu 15 menit untuk menyelesaikan tugas di masing-masing pos. Panitia 
akan memberi musik khusus sebagai penanda waktunya  dan untuk berpindah 
pos peserta juga diberi batasan waktu berupa lagu daerah yang dimainkan 
selama 45 detik. Selama lagu tersebut dimainkan peserta harus segera 
berpindah ke pos selanjutnya.

Yogyakartasebagai kota budaya selalu mengalami perubahan dan perubah 
ini dikhawatirkan akan menggeser kebudayaan asli Yogyakarta. Oleh karena
 itu generasi muda perlu dikenalkan pada kebudayaan asli Yogyakarta. 
Selain itu, segala perbedaan yang ada di Yogyakarta harus dipandang 
sebagai keanekaragaman yang menambah kekayaan budaya bukan dipandang 
sebagai permasalahan. Dalam event ini peserta dipertontonkan video klip 
tentang kekayaan budaya dengan tema “Harmony in Diversity”. Video klip 
ini adalah karya Dimas Diajeng Jogja.

Di pos lainnya  peserta olimpiade budaya dipertemukan dengan 
permainan tradisional. Dalam pos ini peserta dikenalkan dengan permainan
 tradisional yang saat ini sudah mulai langka dijumpai. Peserta 
ditugaskan untuk memainkan permainan ini  dan berkompetisi dengan tim 
yang lain. Dengan memainkan permainan tradisional secara langsung 
seperti ini peserta akan mengenal betul permainan-permainan ini,  
sehingga permainan warisan dari leluhur kita ini tidak punah dari mata 
generasi muda selanjutnya. Nilai lebih dari permainan tradisional 
terletak pada bentuk atau prosedur permainan  bukan kepada materi dan 
alat permainan. Permainan tradisional pada umumnya menggunakan 
benda-benda yang ada di alam sebagai alatnya. Hal ini akan melatih 
kreativitas dan imaginasi anak-anak.
Saksikan selengkapnya dalam Warna-Warni Pendidikan, Jumat 7 Septermber 2012 Pukul 18.00 WIB
Friday, September 7, 2012
Warna-warni Pendidikan - Dolanan Karya
Menjaga Perdamaian di City Of Tolerance
BHI
Menjaga Perdamaian di City Of Tolerance
Selasa 4 Oktober 2012
Yogyakartadisebut sebagai City of Tolerance karena kota ini mampu 
menjaga toleransi antar suku dan agama yang bernafas di kota ini. Oleh 
karena itu tidak mengherankan bahwa Yogyakarta menjadi barometer dalam 
hal toleransi dan perdamaian. Di kota ini segala permasalahan masih bisa
 didialogkan sehingga tidak sampai terjadi konflik.
Situasi kondusif di Yogyakarta dipengaruhi oleh tiga pilar, yakni 1) 
kraton sebagai center of culture. Apapun yang diungkapkan Sultan 
biasanya menjadi pegangan masyarakat dalam bertindak. 2) Perguruan 
tinggi di Yogyakarta cukup populis. 3) tokoh-tokoh agama di Yogyakarta 
sangat proaktif dalam menghadapi hal-hal yang mengarah konflik. Demikian
 disampaikan oleh Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) KH. Abdul
 Muhaimin.

Konflik yang bersumber dari masalah agama saat ini sering muncul. 
Sebenarnya konflik ini tidak semata-mata berakar dari masalah agama 
namun lebih disebabkan oleh persoalan sosial. Dulu para wali sangat 
menerima kehadiran aliran syiah di nusantara. Mereka tidak dianggap 
kafir tetapi ideologinya tidak boleh dikembangkan. Sedangkan budayanya 
diijinkan berkembang di nusantara, misalnya tradisi membuat jenang suran
 di Yogyakarta. Ini adalah warisan budaya yang berasal dari Syiah. Dulu 
masuknya aliran syiah di nusantara tidak menimbulkan konflik karena Wali
 Songo mempunyai strategi budaya yang tepat untuk menampung semua aliran
 agama yang ada di nusantara. Sementara itu, konflik antar aliran agama 
yang terjadi saat ini disebabkan karena para ulama tidak mempunyai 
strategi budaya seperti pada jaman Wali Songo.
Menurut Guru besar Fakultas Hukum&Tim Ahli Pusat Studi Pancasila 
UGM, Prof.DR.Sudjito,SH,MSi, maraknya aksi-aksi brutal di beberapa 
daerah dipengaruhi oleh pola pikir parsialistik. Masing-masing kelompok 
berpikir menurut logikanya sendiri-sendiri. Untuk mengatasi situasi 
brutal ini dibutuhkan pola pikir holistic dan berlandaskan pancasila.

Pancasila yang mengakomodasi nilai-nilai religius, kebenaran, 
kemanusiaan, persatuan dan keadilan saat ini perlu diangkat kembali agar
 menjadi pegangan hidup masyarakat. Namun demikian, penanaman nilai 
pancasila harus menggunakan metode yang tepat dan sesuai dengan konteks 
jaman sekarang. Pancasila harus ditanamkan sejak dini mulai dari 
lingkungan keluarga. Nilai toleransi harus lebih dikuatkan agar tercipta
 kedamaian. Selain itu, pemerintah daerah harus berperan serta 
menciptakan perdamaian dengan membuat kebijakan yang kondusif sehingga 
masyarakat tidak akan saling mencaci. Yang lebih utama, masyarakat harus
 mewaspadai factor eksternal yang bisa menyebabkan perpecahan bangsa. 
Para tokoh pendidik dan ulama harus peka terhadap masuknya ideologi yang
 membawa paham individual liberal yang tidak sesuai dengan falsafah 
bangsa.
http://new.jogjatv.tv/berita/07/09/2012/bhi-menjaga-perdamaian-di-city-tolerance
 
 
 
 
