BHI
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Sabtu 15 September 2012
Secara struktural perempuan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Hal ini tidak lepas dari budaya patriarki yang memposisikan perempuan sebagai kelas ke dua atau subordinat dari laki-laki. Kebijakan pemerintah yang termanisfestasi dalam produk hukum pun masih belum berpihak pada kaum perempuan, misalnya Perda Prostitusi di Bantul.
Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tidak selamanya dilakukan oleh laki-laki, namun ada juga yang dilakukan oleh sesama perempuan. Bahkan secara sistemik, diskriminatif terhadap perempuan sudah membudaya, misalnya siswi hamil dilarang ikut ujian, perempuan dilarang keluar malam hari, perempuan harus sunat dan lain-lain. Bahkan, buku-buku pelajaran SD yang memuat tulisan ibu menanak nasi, bapak membaca koran juga dinilai mendidik anak untuk menempatkan posisi perempuan sebagai kelas ke dua. Demikian dikatakan oleh Bagian Pengembangan Program LSM “Satu Nama” Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) Asteria Metta.
Budaya patriarki yang melekat kuat dalam masyarakat inilah yang harus dibenahi agar perempuan mendapatkan haknya sama dengan laki-laki. Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) saat ini sedang mengawal Perda perlindungan korban kekerasan dan mendorong berbagai macam advokasi, misalnya hak perempuan mendapatkan aborsi yang aman dan legal. Legalitas aborsi mencuat menyusul banyaknya korban pemerkosaan di bawah umur. Perempuan korban perkosaan ini biasanya tidak mau hamil karena secara sosial mendapat cibiran dari masyarakat sekitar. Oleh karena itu, korban kemudian menggugurkan janin dalam kandungannya dengan cara tidak aman. Lain halnya jika ada kebijakan yang melindungi hak reproduksi perempuan maka kasus aborsi tidak aman tidak akan terjadi.
Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) merupakan jaringan yang anggotanya terdiri dari individu ataupun LSM di Yogyakarta dan luar Yogyakarta. JPY concern terhadap issu perempuan dan anak. Sebagai jaringan, JPY mengupayakan advokasi hingga terjadi perubahan di tingkat kebijakan.
Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyudin mengatakan, “Dalam ilmu kriminologi perempuan adalah kaum rentan yang sering menjadi korban kekerasan”. Maka sudah sewajarnya hukum memberikan perlindungan lebih kepada kaum perempuan. Perempuan harus didorong agar berkembang sama seperti laki-laki dan tidak dibatasi ruang lingkupnya. Budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi lemah harus dibenahi agar perempuan mampu mengutarakan pendapatnya. Saat ini LBH sedang mengawal proses legislasi DPR agar seluruh produk hukum yang berkaitan dengan perempuan bisa memberikan perlindungan terhadap perempuan. Selain itu LBH memberikan bantuan hukum kepada perempuan korban kekerasan tanpa memungut biaya.
http://new.jogjatv.tv/berita/18/09/2012/bhi-anti-kekerasan-terhadap-perempuan
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
Sabtu 15 September 2012
Secara struktural perempuan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Hal ini tidak lepas dari budaya patriarki yang memposisikan perempuan sebagai kelas ke dua atau subordinat dari laki-laki. Kebijakan pemerintah yang termanisfestasi dalam produk hukum pun masih belum berpihak pada kaum perempuan, misalnya Perda Prostitusi di Bantul.
Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tidak selamanya dilakukan oleh laki-laki, namun ada juga yang dilakukan oleh sesama perempuan. Bahkan secara sistemik, diskriminatif terhadap perempuan sudah membudaya, misalnya siswi hamil dilarang ikut ujian, perempuan dilarang keluar malam hari, perempuan harus sunat dan lain-lain. Bahkan, buku-buku pelajaran SD yang memuat tulisan ibu menanak nasi, bapak membaca koran juga dinilai mendidik anak untuk menempatkan posisi perempuan sebagai kelas ke dua. Demikian dikatakan oleh Bagian Pengembangan Program LSM “Satu Nama” Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) Asteria Metta.
Budaya patriarki yang melekat kuat dalam masyarakat inilah yang harus dibenahi agar perempuan mendapatkan haknya sama dengan laki-laki. Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) saat ini sedang mengawal Perda perlindungan korban kekerasan dan mendorong berbagai macam advokasi, misalnya hak perempuan mendapatkan aborsi yang aman dan legal. Legalitas aborsi mencuat menyusul banyaknya korban pemerkosaan di bawah umur. Perempuan korban perkosaan ini biasanya tidak mau hamil karena secara sosial mendapat cibiran dari masyarakat sekitar. Oleh karena itu, korban kemudian menggugurkan janin dalam kandungannya dengan cara tidak aman. Lain halnya jika ada kebijakan yang melindungi hak reproduksi perempuan maka kasus aborsi tidak aman tidak akan terjadi.
Jaringan Perempuan Yogyakarta (JPY) merupakan jaringan yang anggotanya terdiri dari individu ataupun LSM di Yogyakarta dan luar Yogyakarta. JPY concern terhadap issu perempuan dan anak. Sebagai jaringan, JPY mengupayakan advokasi hingga terjadi perubahan di tingkat kebijakan.
Kepala Departemen Advokasi LBH Yogyakarta, Hamzal Wahyudin mengatakan, “Dalam ilmu kriminologi perempuan adalah kaum rentan yang sering menjadi korban kekerasan”. Maka sudah sewajarnya hukum memberikan perlindungan lebih kepada kaum perempuan. Perempuan harus didorong agar berkembang sama seperti laki-laki dan tidak dibatasi ruang lingkupnya. Budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi lemah harus dibenahi agar perempuan mampu mengutarakan pendapatnya. Saat ini LBH sedang mengawal proses legislasi DPR agar seluruh produk hukum yang berkaitan dengan perempuan bisa memberikan perlindungan terhadap perempuan. Selain itu LBH memberikan bantuan hukum kepada perempuan korban kekerasan tanpa memungut biaya.
http://new.jogjatv.tv/berita/18/09/2012/bhi-anti-kekerasan-terhadap-perempuan