Yogyakarta, www.jogjatv.tv - Recall atau yang saat ini lebih dekat diartikan sebagai ranjau demokrasi, menjadi hantu baru bagi perkembangan demokrasi baik di lingkungan dDPR maupun masyarakat. Sangat disayangkan apabila di tengah masa penataan iklim politik yang demokratis, kebebasan dan kritik anggota dewan justru dilemahkan oleh lembaga recall yang dijamin oleh produk hukum yang sah.
Recall anggota legislatif oleh parpol, sebagai wujud penghianatan hak konstituen. Judul inilah yang menjadi bahan dari diskusi para pakar hukum dan politik, serta anggota DPR RI, Lily Wahid di Auditorium Program Pascasarjana UII, Jumat pagi(15/4). Sebagaimana diketahui, Lily Wahid beserta rekannya Effendy Choiri pernah dikirimi surat permohonan recall dari partainya PKB pasca sidang paripurna tentang mafia pajak. Namun demikian, PKB menolak mendasarkan recall tersebut, terkait kasus mafia pajak, namun lebih karena masalah internal partai. Sesuai UUD tahun 1945 pasal 22 b, anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar dari pengaturan tentang recall parpol yang tercantum dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 dan UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang parpol.
Lily Wahid dalam paparannya, mempertanyakan bagaimanan implikasi recall terhadap perkembangan demokrasi yang sedang dirintis Bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan recall justru menjadi hambatan baru bagi perkembangan demokrasi di lingkungan DPR dan masyarakat karena memperlemah kebebasan, kritik dan aspirasi rakyat.
Sementara itu, menanggapi praktek recall yang dilakukan oleh parpol, Guru Besar Fakultas Hukum dari Universitas Andalas, Saldi Isra justru mengharap agar dilakukan perbaikan pada AD-ART dari masing-masing parpol, karena hal ini menjadi dasar penanganan problema negeri dengan mengusung pemimpin yang konsisten mengusung aspirasi rakyat.
Ernyta-Andri Yulianto
Recall anggota legislatif oleh parpol, sebagai wujud penghianatan hak konstituen. Judul inilah yang menjadi bahan dari diskusi para pakar hukum dan politik, serta anggota DPR RI, Lily Wahid di Auditorium Program Pascasarjana UII, Jumat pagi(15/4). Sebagaimana diketahui, Lily Wahid beserta rekannya Effendy Choiri pernah dikirimi surat permohonan recall dari partainya PKB pasca sidang paripurna tentang mafia pajak. Namun demikian, PKB menolak mendasarkan recall tersebut, terkait kasus mafia pajak, namun lebih karena masalah internal partai. Sesuai UUD tahun 1945 pasal 22 b, anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. Hal inilah yang akhirnya menjadi dasar dari pengaturan tentang recall parpol yang tercantum dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 dan UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD serta UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang parpol.
Lily Wahid dalam paparannya, mempertanyakan bagaimanan implikasi recall terhadap perkembangan demokrasi yang sedang dirintis Bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan recall justru menjadi hambatan baru bagi perkembangan demokrasi di lingkungan DPR dan masyarakat karena memperlemah kebebasan, kritik dan aspirasi rakyat.
Sementara itu, menanggapi praktek recall yang dilakukan oleh parpol, Guru Besar Fakultas Hukum dari Universitas Andalas, Saldi Isra justru mengharap agar dilakukan perbaikan pada AD-ART dari masing-masing parpol, karena hal ini menjadi dasar penanganan problema negeri dengan mengusung pemimpin yang konsisten mengusung aspirasi rakyat.
Ernyta-Andri Yulianto